Wednesday, September 12, 2012

a Note from a Happiness Seeker


Pernahkah kamu merasa bingung dengan apa yang sedang kamu rasakan? Dibilang senang, hemmm senang siiih...tapi biasa saja. Dibilang sedih, ngga juga karena memang lagi tidak ada satu halpun yang membuat sedih. Seperti ngambang, datar dan kosong. Seperti robot yang tidak punya hati, cuma bisa tersenyum tapi bingung sendiri apa arti dari senyuman itu.

Semua orang bilang, saya pasti sudah bahagia dengan apa yang ada di genggaman saya sekarang. Ya, saya memang mensyukurinya, lebih dari apapun. Tapi bahagia? Belum tahu.

Apa sih bahagia itu? Perasaan senang, haru, atau sesuatu yang membuat kita tersenyum? Saya kadang bingung dengan konsep itu. Tidak, bukan berarti saya tidak senang atau lagi sedih, saya hanya bingung. Apakah yang saya rasakan selama ini adalah kebahagiaan sejati, atau sekedar euphoria?  Ledakan tawa, senyum mengembang panjang, berbagi lelucon hingga terpingkal sakit perut...lalu sudah, kosong lagi setelah itu. Bahagia, atau euphoria? Ada seorang sahabat berkata, "Gue ngga percaya ada orang di Jakarta yang benar-benar bahagia, kota ini memang kota euphoria, cuma gegap gempita belaka". Saya setuju, karena saya merasakan.

Tanpa kita sadari, kadang kita berlomba untuk tampil bahagia hanya untuk (mungkin) membuat orang lain sedikit iri. Semua pencapaian eksistensi, haus akan pengakuan dan reputasi, bertanding memperkaya diri, dan ingin merasa dibutuhkan adalah efek dari naluri kompetitif yang memang manusiawi, dan makin lama makin meningkat kadarnya. Jika tidak tercapai akan sedih terpuruk, tapi apabila itu tercapai, apakah benar-benar bahagia? Atau hanya sekedar puas? Puas belum tentu bahagia loh, senang juga belum tentu bahagia.

Ada orang yang bilang, bahagia itu hanyalah sugesti. Seperti Leo Tolstoy bilang, "If you want to be happy, be". Tapi, setelah saya coba, saya seperti memaksa menstimulasi otak bahwa saya benar-benar bahagia, bukan sekedar senang. Semakin saya mensugesti diri bahagia, semakin aneh rasanya. Saya mencoba berbagai cara. Saya selalu berkumpul bersama orang-orang yang menyenangkan, baik bersenang-senang secara sadar ataupun dengan menggunakan substansi. Saya mencoba travelling dengan pertemanan baru, saya senang, tapi tetap merasa ada ruang di jiwa yang masih bolong. Saya datang berpesta hingga mabuk, menyaksikan kebodohan orang lain dalam kondisi tidak sadar lalu terbahak, saya melihat kejadian lucu itu semua karena ingin bahagia...tapi ya sudah, tetap nihil begitu sadar. Akhirnya saya menyadari, semua itu hanya euphoria belaka. Saya butuh kebahagiaan yang real, yang bisa mengisi ruang kosong melompong itu. Bahagia yang membuat nyaman dan tenang.

Saya mencoba cara lain. Saya teringat Mark Twain, "The best way to cheer yourself up is to try to cheer somebody else up". Membahagiakan keluarga saya, itu adalah motivasi utama. Mereka bahagia, sayapun pasti bahagia, tapi berangsur berubah menjadi perasaan tanggung jawab sebagai bagian dari keluarga. Suatu keharusan, bukan lagi kebahagiaan. Kemudian saya mencoba cara lain seperti merencanakan surprise untuk teman-teman saya, dengan harapan ketika mereka bahagia, maka pasti secara spontan saya akan ikut bahagia. Nyatanya? Tetap datar. Apa yang seharusnya saya lakukan?

Tadinya sempat terpikir untuk menyusul teman-teman saya liburan ke Bali,tampaknya menyenangkan bersama mereka di sana...tapi kemudian saya sadar, Bali hanyalah kota euphoria sama seperti Jakarta. Buat apa buang-buang uang kalau hasilnya sama-sama tidak membuat kebahagiaan sejati itu lahir? Hingga saya teringat, saya punya suatu rencana yang belum kesampaian dari dulu, yaitu berpergian seorang diri ke tempat asing dan sederhana, berkenalan dengan orang-orang baru, dan mencicipi pengalaman yang belum pernah saya rasakan. Demi satu misi batin, pencarian kebahagiaan. Perjalanan saya ini terlepas dari kata "galau" yaaah, karena memang saya tidak sedang sedih, tapi belum tentu juga bahagia.
Mungkin terdengar agak berlebihan. Saya pergi sendirian dari Jakarta dengan mental "siap nyasar dan mengambil semua resiko yang bakal hadir". Saya berangkat pagi-pagi sekali dari Jakarta ke sebuah pantai secara random tanpa tahu kapan akan pulang. Pantai itu berjarak sekitar 8 jam dari Jakarta.



Di pantai itu saya berkenalan dengan seorang anak muda, namanya Sanu. Saya bersyukur karena semua seperti sudah dimudahkan jalannya dan Sanu ternyata sangat baik. Dia membawa saya ke daerah tempat tinggalnya yang berjarak 2 - 2,5 jam dari tempat kami bertemu itu. Jauh sekali, dan masuk ke dalam pedesaan yang jauh dari jalan utama. Awalnya saya cemas, tapi entah kenapa perasaan itu cepat hilang. Dia memperkenalkan saya dan kawan-kawannya yang juga sangat baik, ramah dan sederhana. Berhubung saya orang Jakarta, pikiran negatif sempat hadir, tapi kemudian saya usir jauh-jauh. Saya percaya, jika niat kita tidak buruk, maka orang lain juga tidak berniat buruk pada kita. Sanu itu pribadi yang sangat kocak tanpa dia sadari, cita-citanya ikut Indonesian Idol dan menjadi artis terkenal di Jakarta, tetapi karena dia selalu mabuk darat jadi tidak pernah mau lagi ke Jakarta. Dan lucunya, dia selalu bernyanyi dengan penuh penghayatan, lengkap dengan vibra dan desahan-desahan, tidak hanya bersenandung, hahaha. Kemudian saya juga berkenalan dengan keluarga lain, yang kebetulan saat itu di rumahnya ramai karena sedang ada syukuran. Semua orang di rumah itu bukan main baiknya. Awalnya saya kikuk sekali dengan keadaan itu. Keadaan asing, dengan orang-orang asing, dengan daerah yang asing tetapi perlakuan mereka seperti tidak asing buat saya. Hangat. Mereka bertanya kenapa saya pergi sendirian ke daerah kecil? Suntuk, jawab saya. Tiba2 Ibu Eno berkata,"Saya ndak melihat kamu sedih sih, tapi kamu kelihatannya capek sekali, pikirannya". Lalu saya dipersilahkan untuk menginap di rumah mereka.

Esok harinya, saya ingin ke pantai karena menurut orang-orang sekitar di daerah itu banyak pantai-pantai bagus. Kemudian saya pergi sendirian ke beberapa pantai baru atas petunjuk mereka. Sekitar 1 jam perjalanan, lalu saya menemukan beberapa pantai kosong yang indah.




Seharian saya menyibukkan diri dengan pindah ke pantai-pantai lain, mengambil foto dan video sambil berpikir apa lagi yah yang saya cari di sini?





Hingga malam harinya, ketika saya berkumpul untuk makan malam bersama mereka, entah kenapa perasaan saya damai sekali. Makan malam sederhana, berbagi obrolan menyenangkan yang membuat saya diterima. Kebersamaan yang entah kenapa membuat saya nyaman, walaupun baru kenal dengan mereka. Setelah makan malam selesai, Ibu Eno mendatangi saya dan bertanya, "Kamu cari apa sebenernya?". Akhirnya saya menceritakan semuanya kepada beliau. Dan ini jawabannya:

"Kebahagiaan itu sederhana. Bentuk alaminya seperti udara yang kamu hirup, sinar matahari yang bisa dinikmatin gratis dan kasih sayang sesama. Coba kamu pelajari lagi apa yang berarti buat kamu, dan apa yang tidak seberharga itu untuk dibuat mumet. Pikirkeun lagi apa yang dibutuhkeun dan apa yang hanya diinginkeun, ndak perlu ngoyo. Semakin kamu mencari, semakin kamu ndak pernah sadar bahwa sebenarnya kebahagiaan itu sudah ada di sekitar kamu. Selalu mau lebih terus, ndak apa-apa sebenarnya, itu manusiawi, tapi sewaktu-waktu kita perlu juga sadar untuk berhenti sebentar, istirahat dan bersyukur, itu kunci utamanya."

Saya cuma bisa nunduk mendengarkan, berlagak menyeruput teh yang sudah dingin, lalu beliau melanjutkan...

"Coba kamu tengok di sini. Di sini ndak ada apa-apakan? Tapi semua bahagia, karena udah ikhlas dan ndak terlalu ngoyo. Yang penting berbagi terus, nanti juga kebahagiaan itu akan datang sendiri. Kamu cari orang-orang yang layak berbagi kebahagiaan sama kamu. Cari yang momen sederhana sajalah, ndak perlu yang sampe gimana-gimana. Harta benda ndak selalu menjamin bisa bikin bahagia. Tenang aja, kebahagiaan dan kesedihan itu jalannya seimbang, kalo yang satu istirahat, pasti satu lagi bakal kerja. Mungkin sekarang kedua perasaan kamu itu ada di titik yang sama, jadi seperti datar, itu wajar. Nanti juga perasaan yang satu ngalah, yang satu bisa kerja. Kalau selalu menghindar dari sakit hati, kita juga ndak bakal pernah tahu gimana rasanya bahagia kan? Kalo ada orang yang mau ngancurkeun kebahagiakan kita, dibiari saja...tandanya orang itu yang ndak bahagia sama hidupnya"

Beliau tersenyum dan mengelus-eluskan tangannya ke kepala saya. Aneh. Seperti ada sesuatu yang beku sudah mencair, yang dingin sudah kembali hangat. Senang bercampur sedih, tidak lagi hampa dan datar. Saya sadar sekarang, saya terlalu keras menduga-duga kebahagian itu seperti apa, hingga capek sendiri. Saya egois karena selalu mencari-cari kebahagiaan untuk diri sendiri, padahal sejatinya kebahagiaan akan utuh justru ketika kita membaginya. Bahagia itu ketika kita ikhlas berbagi, bersyukur, dan berani sakit hati. Sederhana namun sempurna.
Saya bahagia sekarang karena sudah mengerti apa itu kebahagiaan yang sebenarnya. Sekarang waktunya mengistirahatkan semuanya yang sudah terlalu keras berusaha, baik itu badan, pikiran, dan juga perasaan. Kalaupun suatu saat nanti ketika saya di Jakarta merasakan sedih, berarti bahagia itu lagi bersembunyi untuk memberikan surprise di kemudian hari.

Mungkin pengalaman saya ini seperti sudah dirancang seperti drama dan Tuhan-lah sutradaranya. What a wonderful life I've had! Thank you, God...You're amazing! :)