Thursday, May 22, 2014

Real Presents

Akhirnya udah sampai juga di usia 29!

Di usia yang nyaris kepala tiga ini, kayanya saya terlalu kekanakan kalau masih minta kado ulang tahun ya. Karena setelah saya pikir-pikir, sebenarnya kado itu udah ada saat ini.


Semakin dewasa, umur semakin nambah, tapi hubungan pertemananpun semakin mengerucut. Banyak sekali kejadian yang mengujinya sampai akhirnya waktupun ngasih jawaban siapa yang benar-benar sejati. Dari sekian banyak teman yang saya punya, cuma beberapa yang membuat saya merasa benar-benar “ada”. Dan saya mau berterima kasih untuk itu. Untuk kado-kado yang udah saya terima bahkan sebelum saya sempat memintanya.


 Ini adalah kado nomor satu, sahabat pertama, prioritas utama. Ngga perlu dibahas lagi persentase sayang saya sama sahabat saya yang satu ini. Yang udah memperjuangkan saya bahkan sebelum saya bernyawa. Yang dengan gigih memperjuangkan hidup anak-anaknya supaya tetap enak dan nyaman walau harus berusaha sendirian tanpa pasangannya. Dari beliaulah saya belajar tentang menghidupi hidup. Belajar berkorban karena mencinta. Cintanya yang hanya untuk anak-anaknya. Dan si sulung ini merasa bertanggung jawab untuk membalas itu semua. Cita-cita saya adalah membahagiakannya. Saat ini. Dan seterusnya.


20 tahun lebih perempuan ini ada di kehidupan saya. Dari jaman masih bau asem, rival di kelas berebutan ranking 1-2 terus, saling cinta monyet pas masa puber, sampai sekarang dia udah mau nikah. Dia yang paling tahu keadaan keluarga saya dari kecil. Dia nangis saat saya sedih, dia paling senang ketika saya senang. Saling cela adalah hiburan yang paling saya kangenin. Bersama-sama juga kami berusaha keras untuk buktikan ke orang-orang yang pernah memandang rendah, kalau kami bisa berhasil, dan mereka akan butuh kami suatu saat. Dan itu perlahan terwujud. Dari dia, saya belajar mempunyai mimpi, dan mewujudkannya. Dari dia, saya belajar untuk tetap setia dengan satu hal yang disayangi, apapun itu bentuknya. Karena itu, saya akan selalu setia bersahabat dengannya.




Sahabat paling langka dengan segala keunikannya, cara berpikirnya, cara mencintainya. Otak kreatifnya selalu membuat saya dan orang lain kagum. Dan, terlepas dari sifat kekanakannya yang menempel sampai usianya saat ini, dia adalah orang paling tulus yang pernah saya tahu. Ke siapapun tanpa terkecuali. Tanpa hidden agenda sama sekali. Mungkin sebagian orang kadang ngga mengerti kemauannya, ambisinya, pengharapannya. Tapi saya mengerti dia, karena 50% dirinya sama dengan diri saya. Pengharapannya mirip dengan pengharapan saya. Dari dia saya belajar, ngga perlu takut untuk tulus sama orang, walau kadang ending-nya ngga enak. Seberapa sering kami berantem, saya tahu kami tetap akan bersahabat.




Partner in crime saya. Sahabat yang rela nyediain kupingnya untuk denger keluhan saya yang kadang ngebosenin pastinya. Pilihan pertama untuk diajak gila-gilaan bareng karena kesukaan dan ketidaksukaannya 11-12 dengan saya. Orang yang terus memotivasi saya menciptakan karya yang bagus. Memberi input banyak hal dengan wawasannya yang sangat luas dan pengetahuannya tentang apapun. Dan dari dia saya belajar untuk berkawan dengan siapapun sebanyak-banyaknya. Walau pernah ada permasalahan lumayan besar dan debat emosi sampai saya pikir itu adalah titik di mana akhirnya kami bisa saling benci, tapi tidak. Dia tetap di situ, tidak pergi. Masih ada untuk mendukung saya, dan tetap mau berbagi lelucon sampahnya dengan saya. Hilangkan asumsi, karena kadang kita memang hanya butuh dimengerti.


Sahabat saya yang satu ini introvert dan pendiam, sampai kadang bikin kita berpikir “Salah apa ya gue sampai dikacangin begini?” haha... Dia adalah teman berkolaborasi dan teman berbagi ide dari dulu, dari mulai ngga ngerti apa-apa. Hampir di setiap karya saya jaman kuliah pasti ada bantuan dia di dalamnya. Kreatifnya bukan main. Sampai suatu hari di awal 2014, di saat saya sedang berada di dalam lowest point dan frustrasi karena suatu hal, entah kenapa saat itu saya terdorong untuk menghubungi dia untuk cerita semuanya. Cuma dia. Dan saya sudah menyiapkan mental kalau-kalau bakal menerima respon negatifnya. Tapi ternyata, dengan gaya blak-blakannya dia malah mendukung saya sepenuhnya. Dia bilang, “We are family, dan baik buruk elu keluarga tetap ada”.


Ngga tahu lagi udah berapa banyak waktu yang saya habiskan dengan orang bertalenta yang satu ini. Mau itu pertemuan berkualitas atau cuma ngelakuin kegiatan random bareng. Mau itu ketawa berlebihan atau cuma duduk diam berlama-lama. Saya ngga pernah merasa bosan. Saya dan dia sama-sama rela jadi telinga yang dibutuhkan satu sama lain, dan rela merasa bodoh bareng. Optimismenya selalu menular. Dari dia, saya belajar tentang ambisi yang harus dikejar, saya belajar membentuk misi untuk mencapai visi, saya belajar dari pemikiran-pemikirannya yang cerdas. Dia salah satu motivasi saya untuk menjadi “seseorang”. Dia selalu melihat ke atas tanpa pernah lupa melihat ke bawah. Saya harap, seberubah apapun hidupnya nanti, dia masih menyisakan waktunya sedikit untuk “nyampah” dengan saya seperti saat ini.


Ngga usah ditanya lagi seberapa kerennya perempuan ini. Punya kecerdasan di atas rata-rata, pengetahuan musik yang hebat, posisi jabatan yang oke, teman-teman di berbagai kalangan, kekonyolannya yang selalu ditunggu, dan banyak lagi. Dia seorang perfectionist. Namun di dalam hidupnya yang selalu diset sempurna, dia masih mau memasukkan saya yang ngga sempurna. Kenapa saya bilang begitu? Ada satu moment ketika saya menceritakan semua tentang saya, sesuatu yang saya anggap salah dalam diri saya, dan saya ceritakan dengan meletup-letup. Dan dia tetap diam di sana, menyimak dengan tenang, dan bilang,”Apapun pilihan yang membuat lo nyaman, ngga akan ada yang salah di mata gue. Kita berteman udah dalam level lebih dari toleransi”.


Orang yang cukup keras dalam berpendirian. Hidupnya selalu tertata rapi, dan pemikirannya selalu strategic. Dulu hidup saya selalu kesantaian, dan mood saya gampang banget berubah sampai itu sering jadi bumerang buat saya sendiri. Secara ngga langsung, dia ngajarin saya untuk ngerubah itu semua. Saya memulai karir dari nol bareng, dari ngga tahu harus ngapain, dari penghasilan cuma ratusan ribu setiap bulan atau bahkan ngga dapet sama sekali. Tapi saya bertahan karena itulah dunia yang saya mau, mimpi yang ingin saya kejar, dan dia juga bertahan untuk tetap membantu saya walau kadang kami berdua bingung mau makan apa saking bokeknya. Selama belasan tahun dia menemani saya, selama itu juga dukungannya ke saya ngga pernah berhenti.


Sosok yang keras. Galak kata orang-orang. Dan ngga akan segan memarahi langsung orang yang salah, mau itu orang ternama sekalipun. Tapi temannya tetap banyak sekali, dan jarang ada musuh, itu yang buat saya kagum. Kami karib dari awal kuliah. Mulai dari dia cuma kenal keringet-keringet anak basket, sampai dia udah jago dandan sendiri sejak jadi model. Dia salah satu sahabat yang sudah paham banget karakter saya, apa yang saya suka dan ngga suka. Tanpa saya meminta, dia sudah tahu harus bereaksi apa. Bekerja dengan dia selalu menyenangkan, mau seberat apapun pekerjaan itu pasti terkendali dan berakhir dengan tawa. Dia juga salah satu sahabat yang ngga punya hidden agenda. Dari dia saya belajar untuk jujur jadi diri sendiri, dan ngga berpura-pura. Terima kasih.


Sahabat paling ngocol dan selalu berhasil membuat saya ketawa jumpalitan. Perempuan yang paling terbuka soal petualangan sex nya yang selalu menarik. Dulu di sekolah, dia termasuk orang yang kontroversial. Tapi dia ngga peduli apa kata orang. Sampai waktu menuju kelulusan SMA, saya jadi korban bully satu angkatan karena hasutan dari salah satu teman dekat saya sendiri. Itu pertama kalinya saya merasa dihancurkan, merasa dikhianati, dan titik balik saya untuk tidak akan pernah mempercayai siapapun setelah itu. Tapi sahabat saya ini tetap di samping saya, dan bilang,“Elo siapa? Elo apa? Gue ngga peduli. Ngga ada yang bisa ngerubah kenyamanan gue sama elo. Bodo amat orang mau bilang apa.”. Kami sama-sama jatuh saat itu, dan saling bantu berdiri. Setelah itu, kami berdua bikin satu janji untuk membuktikan kalau kami bisa lebih sukses daripada mereka yang pernah menjatuhkan kami. Dan dia benar-benar berhasil membuktikannya sekarang.


Teman bolos sekolah bareng, teman belajar badung bareng, teman yang hampir tiap pulang sekolah selalu mampir ke rumah saya dulu, kemana-mana selalu bareng. Duo Biji kalo kata teman-teman SMA dulu. Karakter kami mirip. Dengan dia, akan selalu ada topik yang seru buat diobrolin, ada banyak hal yang bisa dilakukan dan saya ngga pernah mengenal kata bosan. Dia selalu ada walau saya ada dalam posisi hancur sekalipun. Dia lahir di keluarga yang lumayan berada. Hidupnya mudah secara materi. Tapi yang saya kagum, jiwanya tetap sederhana. Dia lebih memilih belanja barang bekas yang unik di Poncol, padahal saya tahu uangnya sangat cukup belanja di mall besar. Saya belajar kesederhanaan dan hidup yang ngga neko-neko. Walau kami agak jauh sekarang karena kondisi jarak dan waktu, tapi dia adalah salah satu sahabat yang ceritanya bakal selalu saya ingat.


Mereka adalah prioritas saya sekarang ini. Di usia ke-29 ini saya akhirnya benar-benar ngerti apa itu kata tulus (di antara banyaknya orang palsu dan opportunist saat ini) dan mungkin memang itulah kado yang saya butuhkan.

Jadi...

Terima kasih banyak untuk kalian, yang memilih untuk tetap tinggal. Hingga saat ini.