Thursday, May 22, 2014

Real Presents

Akhirnya udah sampai juga di usia 29!

Di usia yang nyaris kepala tiga ini, kayanya saya terlalu kekanakan kalau masih minta kado ulang tahun ya. Karena setelah saya pikir-pikir, sebenarnya kado itu udah ada saat ini.


Semakin dewasa, umur semakin nambah, tapi hubungan pertemananpun semakin mengerucut. Banyak sekali kejadian yang mengujinya sampai akhirnya waktupun ngasih jawaban siapa yang benar-benar sejati. Dari sekian banyak teman yang saya punya, cuma beberapa yang membuat saya merasa benar-benar “ada”. Dan saya mau berterima kasih untuk itu. Untuk kado-kado yang udah saya terima bahkan sebelum saya sempat memintanya.


 Ini adalah kado nomor satu, sahabat pertama, prioritas utama. Ngga perlu dibahas lagi persentase sayang saya sama sahabat saya yang satu ini. Yang udah memperjuangkan saya bahkan sebelum saya bernyawa. Yang dengan gigih memperjuangkan hidup anak-anaknya supaya tetap enak dan nyaman walau harus berusaha sendirian tanpa pasangannya. Dari beliaulah saya belajar tentang menghidupi hidup. Belajar berkorban karena mencinta. Cintanya yang hanya untuk anak-anaknya. Dan si sulung ini merasa bertanggung jawab untuk membalas itu semua. Cita-cita saya adalah membahagiakannya. Saat ini. Dan seterusnya.


20 tahun lebih perempuan ini ada di kehidupan saya. Dari jaman masih bau asem, rival di kelas berebutan ranking 1-2 terus, saling cinta monyet pas masa puber, sampai sekarang dia udah mau nikah. Dia yang paling tahu keadaan keluarga saya dari kecil. Dia nangis saat saya sedih, dia paling senang ketika saya senang. Saling cela adalah hiburan yang paling saya kangenin. Bersama-sama juga kami berusaha keras untuk buktikan ke orang-orang yang pernah memandang rendah, kalau kami bisa berhasil, dan mereka akan butuh kami suatu saat. Dan itu perlahan terwujud. Dari dia, saya belajar mempunyai mimpi, dan mewujudkannya. Dari dia, saya belajar untuk tetap setia dengan satu hal yang disayangi, apapun itu bentuknya. Karena itu, saya akan selalu setia bersahabat dengannya.




Sahabat paling langka dengan segala keunikannya, cara berpikirnya, cara mencintainya. Otak kreatifnya selalu membuat saya dan orang lain kagum. Dan, terlepas dari sifat kekanakannya yang menempel sampai usianya saat ini, dia adalah orang paling tulus yang pernah saya tahu. Ke siapapun tanpa terkecuali. Tanpa hidden agenda sama sekali. Mungkin sebagian orang kadang ngga mengerti kemauannya, ambisinya, pengharapannya. Tapi saya mengerti dia, karena 50% dirinya sama dengan diri saya. Pengharapannya mirip dengan pengharapan saya. Dari dia saya belajar, ngga perlu takut untuk tulus sama orang, walau kadang ending-nya ngga enak. Seberapa sering kami berantem, saya tahu kami tetap akan bersahabat.




Partner in crime saya. Sahabat yang rela nyediain kupingnya untuk denger keluhan saya yang kadang ngebosenin pastinya. Pilihan pertama untuk diajak gila-gilaan bareng karena kesukaan dan ketidaksukaannya 11-12 dengan saya. Orang yang terus memotivasi saya menciptakan karya yang bagus. Memberi input banyak hal dengan wawasannya yang sangat luas dan pengetahuannya tentang apapun. Dan dari dia saya belajar untuk berkawan dengan siapapun sebanyak-banyaknya. Walau pernah ada permasalahan lumayan besar dan debat emosi sampai saya pikir itu adalah titik di mana akhirnya kami bisa saling benci, tapi tidak. Dia tetap di situ, tidak pergi. Masih ada untuk mendukung saya, dan tetap mau berbagi lelucon sampahnya dengan saya. Hilangkan asumsi, karena kadang kita memang hanya butuh dimengerti.


Sahabat saya yang satu ini introvert dan pendiam, sampai kadang bikin kita berpikir “Salah apa ya gue sampai dikacangin begini?” haha... Dia adalah teman berkolaborasi dan teman berbagi ide dari dulu, dari mulai ngga ngerti apa-apa. Hampir di setiap karya saya jaman kuliah pasti ada bantuan dia di dalamnya. Kreatifnya bukan main. Sampai suatu hari di awal 2014, di saat saya sedang berada di dalam lowest point dan frustrasi karena suatu hal, entah kenapa saat itu saya terdorong untuk menghubungi dia untuk cerita semuanya. Cuma dia. Dan saya sudah menyiapkan mental kalau-kalau bakal menerima respon negatifnya. Tapi ternyata, dengan gaya blak-blakannya dia malah mendukung saya sepenuhnya. Dia bilang, “We are family, dan baik buruk elu keluarga tetap ada”.


Ngga tahu lagi udah berapa banyak waktu yang saya habiskan dengan orang bertalenta yang satu ini. Mau itu pertemuan berkualitas atau cuma ngelakuin kegiatan random bareng. Mau itu ketawa berlebihan atau cuma duduk diam berlama-lama. Saya ngga pernah merasa bosan. Saya dan dia sama-sama rela jadi telinga yang dibutuhkan satu sama lain, dan rela merasa bodoh bareng. Optimismenya selalu menular. Dari dia, saya belajar tentang ambisi yang harus dikejar, saya belajar membentuk misi untuk mencapai visi, saya belajar dari pemikiran-pemikirannya yang cerdas. Dia salah satu motivasi saya untuk menjadi “seseorang”. Dia selalu melihat ke atas tanpa pernah lupa melihat ke bawah. Saya harap, seberubah apapun hidupnya nanti, dia masih menyisakan waktunya sedikit untuk “nyampah” dengan saya seperti saat ini.


Ngga usah ditanya lagi seberapa kerennya perempuan ini. Punya kecerdasan di atas rata-rata, pengetahuan musik yang hebat, posisi jabatan yang oke, teman-teman di berbagai kalangan, kekonyolannya yang selalu ditunggu, dan banyak lagi. Dia seorang perfectionist. Namun di dalam hidupnya yang selalu diset sempurna, dia masih mau memasukkan saya yang ngga sempurna. Kenapa saya bilang begitu? Ada satu moment ketika saya menceritakan semua tentang saya, sesuatu yang saya anggap salah dalam diri saya, dan saya ceritakan dengan meletup-letup. Dan dia tetap diam di sana, menyimak dengan tenang, dan bilang,”Apapun pilihan yang membuat lo nyaman, ngga akan ada yang salah di mata gue. Kita berteman udah dalam level lebih dari toleransi”.


Orang yang cukup keras dalam berpendirian. Hidupnya selalu tertata rapi, dan pemikirannya selalu strategic. Dulu hidup saya selalu kesantaian, dan mood saya gampang banget berubah sampai itu sering jadi bumerang buat saya sendiri. Secara ngga langsung, dia ngajarin saya untuk ngerubah itu semua. Saya memulai karir dari nol bareng, dari ngga tahu harus ngapain, dari penghasilan cuma ratusan ribu setiap bulan atau bahkan ngga dapet sama sekali. Tapi saya bertahan karena itulah dunia yang saya mau, mimpi yang ingin saya kejar, dan dia juga bertahan untuk tetap membantu saya walau kadang kami berdua bingung mau makan apa saking bokeknya. Selama belasan tahun dia menemani saya, selama itu juga dukungannya ke saya ngga pernah berhenti.


Sosok yang keras. Galak kata orang-orang. Dan ngga akan segan memarahi langsung orang yang salah, mau itu orang ternama sekalipun. Tapi temannya tetap banyak sekali, dan jarang ada musuh, itu yang buat saya kagum. Kami karib dari awal kuliah. Mulai dari dia cuma kenal keringet-keringet anak basket, sampai dia udah jago dandan sendiri sejak jadi model. Dia salah satu sahabat yang sudah paham banget karakter saya, apa yang saya suka dan ngga suka. Tanpa saya meminta, dia sudah tahu harus bereaksi apa. Bekerja dengan dia selalu menyenangkan, mau seberat apapun pekerjaan itu pasti terkendali dan berakhir dengan tawa. Dia juga salah satu sahabat yang ngga punya hidden agenda. Dari dia saya belajar untuk jujur jadi diri sendiri, dan ngga berpura-pura. Terima kasih.


Sahabat paling ngocol dan selalu berhasil membuat saya ketawa jumpalitan. Perempuan yang paling terbuka soal petualangan sex nya yang selalu menarik. Dulu di sekolah, dia termasuk orang yang kontroversial. Tapi dia ngga peduli apa kata orang. Sampai waktu menuju kelulusan SMA, saya jadi korban bully satu angkatan karena hasutan dari salah satu teman dekat saya sendiri. Itu pertama kalinya saya merasa dihancurkan, merasa dikhianati, dan titik balik saya untuk tidak akan pernah mempercayai siapapun setelah itu. Tapi sahabat saya ini tetap di samping saya, dan bilang,“Elo siapa? Elo apa? Gue ngga peduli. Ngga ada yang bisa ngerubah kenyamanan gue sama elo. Bodo amat orang mau bilang apa.”. Kami sama-sama jatuh saat itu, dan saling bantu berdiri. Setelah itu, kami berdua bikin satu janji untuk membuktikan kalau kami bisa lebih sukses daripada mereka yang pernah menjatuhkan kami. Dan dia benar-benar berhasil membuktikannya sekarang.


Teman bolos sekolah bareng, teman belajar badung bareng, teman yang hampir tiap pulang sekolah selalu mampir ke rumah saya dulu, kemana-mana selalu bareng. Duo Biji kalo kata teman-teman SMA dulu. Karakter kami mirip. Dengan dia, akan selalu ada topik yang seru buat diobrolin, ada banyak hal yang bisa dilakukan dan saya ngga pernah mengenal kata bosan. Dia selalu ada walau saya ada dalam posisi hancur sekalipun. Dia lahir di keluarga yang lumayan berada. Hidupnya mudah secara materi. Tapi yang saya kagum, jiwanya tetap sederhana. Dia lebih memilih belanja barang bekas yang unik di Poncol, padahal saya tahu uangnya sangat cukup belanja di mall besar. Saya belajar kesederhanaan dan hidup yang ngga neko-neko. Walau kami agak jauh sekarang karena kondisi jarak dan waktu, tapi dia adalah salah satu sahabat yang ceritanya bakal selalu saya ingat.


Mereka adalah prioritas saya sekarang ini. Di usia ke-29 ini saya akhirnya benar-benar ngerti apa itu kata tulus (di antara banyaknya orang palsu dan opportunist saat ini) dan mungkin memang itulah kado yang saya butuhkan.

Jadi...

Terima kasih banyak untuk kalian, yang memilih untuk tetap tinggal. Hingga saat ini.

Wednesday, September 12, 2012

a Note from a Happiness Seeker


Pernahkah kamu merasa bingung dengan apa yang sedang kamu rasakan? Dibilang senang, hemmm senang siiih...tapi biasa saja. Dibilang sedih, ngga juga karena memang lagi tidak ada satu halpun yang membuat sedih. Seperti ngambang, datar dan kosong. Seperti robot yang tidak punya hati, cuma bisa tersenyum tapi bingung sendiri apa arti dari senyuman itu.

Semua orang bilang, saya pasti sudah bahagia dengan apa yang ada di genggaman saya sekarang. Ya, saya memang mensyukurinya, lebih dari apapun. Tapi bahagia? Belum tahu.

Apa sih bahagia itu? Perasaan senang, haru, atau sesuatu yang membuat kita tersenyum? Saya kadang bingung dengan konsep itu. Tidak, bukan berarti saya tidak senang atau lagi sedih, saya hanya bingung. Apakah yang saya rasakan selama ini adalah kebahagiaan sejati, atau sekedar euphoria?  Ledakan tawa, senyum mengembang panjang, berbagi lelucon hingga terpingkal sakit perut...lalu sudah, kosong lagi setelah itu. Bahagia, atau euphoria? Ada seorang sahabat berkata, "Gue ngga percaya ada orang di Jakarta yang benar-benar bahagia, kota ini memang kota euphoria, cuma gegap gempita belaka". Saya setuju, karena saya merasakan.

Tanpa kita sadari, kadang kita berlomba untuk tampil bahagia hanya untuk (mungkin) membuat orang lain sedikit iri. Semua pencapaian eksistensi, haus akan pengakuan dan reputasi, bertanding memperkaya diri, dan ingin merasa dibutuhkan adalah efek dari naluri kompetitif yang memang manusiawi, dan makin lama makin meningkat kadarnya. Jika tidak tercapai akan sedih terpuruk, tapi apabila itu tercapai, apakah benar-benar bahagia? Atau hanya sekedar puas? Puas belum tentu bahagia loh, senang juga belum tentu bahagia.

Ada orang yang bilang, bahagia itu hanyalah sugesti. Seperti Leo Tolstoy bilang, "If you want to be happy, be". Tapi, setelah saya coba, saya seperti memaksa menstimulasi otak bahwa saya benar-benar bahagia, bukan sekedar senang. Semakin saya mensugesti diri bahagia, semakin aneh rasanya. Saya mencoba berbagai cara. Saya selalu berkumpul bersama orang-orang yang menyenangkan, baik bersenang-senang secara sadar ataupun dengan menggunakan substansi. Saya mencoba travelling dengan pertemanan baru, saya senang, tapi tetap merasa ada ruang di jiwa yang masih bolong. Saya datang berpesta hingga mabuk, menyaksikan kebodohan orang lain dalam kondisi tidak sadar lalu terbahak, saya melihat kejadian lucu itu semua karena ingin bahagia...tapi ya sudah, tetap nihil begitu sadar. Akhirnya saya menyadari, semua itu hanya euphoria belaka. Saya butuh kebahagiaan yang real, yang bisa mengisi ruang kosong melompong itu. Bahagia yang membuat nyaman dan tenang.

Saya mencoba cara lain. Saya teringat Mark Twain, "The best way to cheer yourself up is to try to cheer somebody else up". Membahagiakan keluarga saya, itu adalah motivasi utama. Mereka bahagia, sayapun pasti bahagia, tapi berangsur berubah menjadi perasaan tanggung jawab sebagai bagian dari keluarga. Suatu keharusan, bukan lagi kebahagiaan. Kemudian saya mencoba cara lain seperti merencanakan surprise untuk teman-teman saya, dengan harapan ketika mereka bahagia, maka pasti secara spontan saya akan ikut bahagia. Nyatanya? Tetap datar. Apa yang seharusnya saya lakukan?

Tadinya sempat terpikir untuk menyusul teman-teman saya liburan ke Bali,tampaknya menyenangkan bersama mereka di sana...tapi kemudian saya sadar, Bali hanyalah kota euphoria sama seperti Jakarta. Buat apa buang-buang uang kalau hasilnya sama-sama tidak membuat kebahagiaan sejati itu lahir? Hingga saya teringat, saya punya suatu rencana yang belum kesampaian dari dulu, yaitu berpergian seorang diri ke tempat asing dan sederhana, berkenalan dengan orang-orang baru, dan mencicipi pengalaman yang belum pernah saya rasakan. Demi satu misi batin, pencarian kebahagiaan. Perjalanan saya ini terlepas dari kata "galau" yaaah, karena memang saya tidak sedang sedih, tapi belum tentu juga bahagia.
Mungkin terdengar agak berlebihan. Saya pergi sendirian dari Jakarta dengan mental "siap nyasar dan mengambil semua resiko yang bakal hadir". Saya berangkat pagi-pagi sekali dari Jakarta ke sebuah pantai secara random tanpa tahu kapan akan pulang. Pantai itu berjarak sekitar 8 jam dari Jakarta.



Di pantai itu saya berkenalan dengan seorang anak muda, namanya Sanu. Saya bersyukur karena semua seperti sudah dimudahkan jalannya dan Sanu ternyata sangat baik. Dia membawa saya ke daerah tempat tinggalnya yang berjarak 2 - 2,5 jam dari tempat kami bertemu itu. Jauh sekali, dan masuk ke dalam pedesaan yang jauh dari jalan utama. Awalnya saya cemas, tapi entah kenapa perasaan itu cepat hilang. Dia memperkenalkan saya dan kawan-kawannya yang juga sangat baik, ramah dan sederhana. Berhubung saya orang Jakarta, pikiran negatif sempat hadir, tapi kemudian saya usir jauh-jauh. Saya percaya, jika niat kita tidak buruk, maka orang lain juga tidak berniat buruk pada kita. Sanu itu pribadi yang sangat kocak tanpa dia sadari, cita-citanya ikut Indonesian Idol dan menjadi artis terkenal di Jakarta, tetapi karena dia selalu mabuk darat jadi tidak pernah mau lagi ke Jakarta. Dan lucunya, dia selalu bernyanyi dengan penuh penghayatan, lengkap dengan vibra dan desahan-desahan, tidak hanya bersenandung, hahaha. Kemudian saya juga berkenalan dengan keluarga lain, yang kebetulan saat itu di rumahnya ramai karena sedang ada syukuran. Semua orang di rumah itu bukan main baiknya. Awalnya saya kikuk sekali dengan keadaan itu. Keadaan asing, dengan orang-orang asing, dengan daerah yang asing tetapi perlakuan mereka seperti tidak asing buat saya. Hangat. Mereka bertanya kenapa saya pergi sendirian ke daerah kecil? Suntuk, jawab saya. Tiba2 Ibu Eno berkata,"Saya ndak melihat kamu sedih sih, tapi kamu kelihatannya capek sekali, pikirannya". Lalu saya dipersilahkan untuk menginap di rumah mereka.

Esok harinya, saya ingin ke pantai karena menurut orang-orang sekitar di daerah itu banyak pantai-pantai bagus. Kemudian saya pergi sendirian ke beberapa pantai baru atas petunjuk mereka. Sekitar 1 jam perjalanan, lalu saya menemukan beberapa pantai kosong yang indah.




Seharian saya menyibukkan diri dengan pindah ke pantai-pantai lain, mengambil foto dan video sambil berpikir apa lagi yah yang saya cari di sini?





Hingga malam harinya, ketika saya berkumpul untuk makan malam bersama mereka, entah kenapa perasaan saya damai sekali. Makan malam sederhana, berbagi obrolan menyenangkan yang membuat saya diterima. Kebersamaan yang entah kenapa membuat saya nyaman, walaupun baru kenal dengan mereka. Setelah makan malam selesai, Ibu Eno mendatangi saya dan bertanya, "Kamu cari apa sebenernya?". Akhirnya saya menceritakan semuanya kepada beliau. Dan ini jawabannya:

"Kebahagiaan itu sederhana. Bentuk alaminya seperti udara yang kamu hirup, sinar matahari yang bisa dinikmatin gratis dan kasih sayang sesama. Coba kamu pelajari lagi apa yang berarti buat kamu, dan apa yang tidak seberharga itu untuk dibuat mumet. Pikirkeun lagi apa yang dibutuhkeun dan apa yang hanya diinginkeun, ndak perlu ngoyo. Semakin kamu mencari, semakin kamu ndak pernah sadar bahwa sebenarnya kebahagiaan itu sudah ada di sekitar kamu. Selalu mau lebih terus, ndak apa-apa sebenarnya, itu manusiawi, tapi sewaktu-waktu kita perlu juga sadar untuk berhenti sebentar, istirahat dan bersyukur, itu kunci utamanya."

Saya cuma bisa nunduk mendengarkan, berlagak menyeruput teh yang sudah dingin, lalu beliau melanjutkan...

"Coba kamu tengok di sini. Di sini ndak ada apa-apakan? Tapi semua bahagia, karena udah ikhlas dan ndak terlalu ngoyo. Yang penting berbagi terus, nanti juga kebahagiaan itu akan datang sendiri. Kamu cari orang-orang yang layak berbagi kebahagiaan sama kamu. Cari yang momen sederhana sajalah, ndak perlu yang sampe gimana-gimana. Harta benda ndak selalu menjamin bisa bikin bahagia. Tenang aja, kebahagiaan dan kesedihan itu jalannya seimbang, kalo yang satu istirahat, pasti satu lagi bakal kerja. Mungkin sekarang kedua perasaan kamu itu ada di titik yang sama, jadi seperti datar, itu wajar. Nanti juga perasaan yang satu ngalah, yang satu bisa kerja. Kalau selalu menghindar dari sakit hati, kita juga ndak bakal pernah tahu gimana rasanya bahagia kan? Kalo ada orang yang mau ngancurkeun kebahagiakan kita, dibiari saja...tandanya orang itu yang ndak bahagia sama hidupnya"

Beliau tersenyum dan mengelus-eluskan tangannya ke kepala saya. Aneh. Seperti ada sesuatu yang beku sudah mencair, yang dingin sudah kembali hangat. Senang bercampur sedih, tidak lagi hampa dan datar. Saya sadar sekarang, saya terlalu keras menduga-duga kebahagian itu seperti apa, hingga capek sendiri. Saya egois karena selalu mencari-cari kebahagiaan untuk diri sendiri, padahal sejatinya kebahagiaan akan utuh justru ketika kita membaginya. Bahagia itu ketika kita ikhlas berbagi, bersyukur, dan berani sakit hati. Sederhana namun sempurna.
Saya bahagia sekarang karena sudah mengerti apa itu kebahagiaan yang sebenarnya. Sekarang waktunya mengistirahatkan semuanya yang sudah terlalu keras berusaha, baik itu badan, pikiran, dan juga perasaan. Kalaupun suatu saat nanti ketika saya di Jakarta merasakan sedih, berarti bahagia itu lagi bersembunyi untuk memberikan surprise di kemudian hari.

Mungkin pengalaman saya ini seperti sudah dirancang seperti drama dan Tuhan-lah sutradaranya. What a wonderful life I've had! Thank you, God...You're amazing! :)

Saturday, October 15, 2011

Akhiri Bersama


Kita pernah berkelana bersama, saling memuji tanpa koma...
melisankan apa yang dirasa, sebelum semua itu binasa

Namun lihatlah kita kini, dekat tapi tak searah...
saling memberi lara dan termakan oleh amarah

Untuk apa tetap bersama, hidupi benci yang tak pantas ada...
percuma pertahankan semua, ego sudah membunuh asa

Ketika perjalanan sudah lelahkan kita dan rasa itu hilang entah kemana,
berdua kita sudahi saja cerita, beri akhir terbaik meski tak sempurna

Cinta tak bernyawa lagi, sia2 memberi nafas padanya
Biarkan detik menyembuhkan,setiap perih akan tergantikan,
kita memang butuh pelajaran

Sunday, March 6, 2011

Kebenaran Yang Salah

Sel otak berhasil dilumpuhkan oleh hati,
apakah rasa ini akan berkembang sampai mati?
Jika dukamu sepenuhnya milikku,
dan sukaku seutuhnya adalah kamu
bukankah itu berarti kita satu?

Aku tahu kamu ada untuk tahu aku selalu ada
walau ada dia dan dia di samping raga
namun tak mengapa, kita selalu terjaga
Sebab rasa terlanjur terpupuk dalam batin tanpa ampun
sebab denganmu, cinta cepat menjalar bagai racun

Selagi kita masih bisa menikmati setiap detik
Saling memuja dengan buaian tanpa titik
Sewaktu nafas bercampur dalam nafsu
Ketika bersama berbagi rindu dalam bisu
Tanpa peduli mereka sedang resah dan rusuh

Kadang jiwa membatin pedih
Segenap hati ingin kamu utuh, bahkan lebih
Kini harus relakan cinta yang cukup logis
bermetamorfosis menjadi cinta masokis
sakit tak apa, karena aku tetap menikmati manis

Mari terbahak, merayu dan bercinta tanpa malu
hingga kita terengah lelah jengah disadari pilu
Dan kita terperangkap egois yang mengasyikkan…kadang memuakkan
Kita bersama yang tak seharusnya bersama,
dan sebenarnya tak bisa bersama

Tuesday, January 11, 2011

Surat Untuk Bintang

Halo, apa kabar kamu malam ini?
Menulis ini sambil menatap langitmu kini
Sebab rinduku sudah di ujung hati
Dan aku ingin meminta sesuatu hingga nanti..

Maukah berjanji padaku?
Anggap hidup adalah permainan, Bintangku
Dan wahana terbaik adalah galaksiku
Jadi tak perlu takut memainkan peran itu
Walau dadu menggelinding tak menentu

Maukah berjanji padaku?
Untuk selalu sayangi aku tanpa jeda
Seperti hujan yang tak mau reda
Seperti musik tak henti memeluk nada
Hingga ragaku tak lagi muda

Berjanjilah padaku..
Terus berikanku pijarmu yang penuh asa
Tanpa perlu terpaksa hingga habis masa
Walau kau jauh tapi aku tetap merasa
Karena cintaku ini paling luar biasa

Berjanjilah padaku..
Untuk penuhi semua itu
Karena setiap kerlipmu adalah nafasku
Dan gugusanmu merangkai nyawaku
Permintaanku cuma satu...
Bintangku, Sinarilah Galaksiku...selalu


Salam sayang,


Aku

(Inspired by a good friend)