Perempuan bertubuh pendek dan gemuk itu bernama Maya. Dia sedang bercermin seraya memilin rambutnya sendiri. Dia memperhatikan raut wajah yang hadir di sana. Dia sadar wajahnya tidak cantik. Muram, senyum, atau apapun ekspresinya akan tampak sama. Sama seperti teman-teman seperjuangannya dulu di sekolah-sekolah istimewa itu.
Maya menggigiti kuku jari tangannya, tampak gelisah. Disaat harusnya dia bersuka-cita karena dia merasakan cinta. Namun perasaan magis inilah yang justru membuat matanya yang bulat selalu basah. Tidak hanya kali ini dia merasakan cinta merembes ke hatinya dan melumpuhkan sel otaknya sesekali. Ironisnya, dia selalu takut setiap kali perasaan seperti ini mencoba mengetuk.
Maya bangkit dari tempat duduknya, pergi ke balkon kamarnya. Menghadap purnama yang juga tampak lelah dengan kesempurnaannya. Maya mendengar dentingan dawai gitar dari balkon rumah sebelahnya. Pria itu di sana. Cinta itu tertambat di sana. Maya tidak bisa melepas pandangannya dari jari-jemari yang secara apik menghasilkan bebunyian merdu. Pria itu memainkan gitar dengan khusyuk. Sadar ada seseorang memperhatikannya, diapun menoleh. Badan Maya kaku seketika, bersamaan dengan mata pria itu yang beradu dengan matanya. Sekali lagi dadanya bergetar. Sekali lagi cinta masuk…namun terasa ngilu menusuk. Sakit, karena tidak terkait. Buat apa rasa itu ada jika menyiksa?
Hatinya hancur karena pria itu tidak bisa membalas cintanya, itu pasti. Tapi kenyataan bahwa ketidaknormalannya yang menjadi penyebab, itu yang membuat perihnya berlipat-ganda. Dan inilah patah hati sejati. Sesungguhnya dia sama sekali tidak pernah bercita-cita menjadi sosok seperti momok. Ingin rasanya ia memaki, tapi buat apa? Dan kepada siapa? Tidak cukup nyalinya menghardik Tuhan. Karena Tuhan-lah tempat dia mencurahkan segalanya. Tempat air matanya berpulang.
Maya duduk di tempat tidurnya. Meraih boneka yang menemaninya lebih dari 25 tahun, kemudian memeluknya. Malam itu, dia sibuk mematikan cintanya sendiri sebelum beranak-pinak dan menggrogoti hatinya. Sebelum jiwanya sendiri ikut mati. Haruskah cinta dibatasi? Haruskah hidup selalu dijastifikasi?
Maya dan dunianya. Ketika dalam waktu bersamaan dia harus jatuh cinta dan patah hati. Ketika, sekali lagi, dia harus membunuh perasaannya sendiri. Ketika dia menyadari, down syndrome-nya akan terus membatasi. Entah sampai kapan…